Sultan Pertama Dari Kesultanan Aceh Adalah

Sultan Pertama Dari Kesultanan Aceh Adalah

Menghimpun Kekuatan Besar

Cara kedua yang dilakukan Kesultanan Aceh adalah menghimpun kekuatan yang lebih besar.

Baca Juga: 5 Faktor Penyebab Kegagalan Perlawanan Mengusir Penjajah di Berbagai Daerah, Materi IPS

Cara ini dilakukan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda yaitu antara tahun 1607 hingga 1636.

Sultan Iskandar Muda adalah pemimpin yang berhasil membawa Kesultanan Aceh mendapatkan kejayaan hingga mampu kembali menyerang Portugis.

Serangan yang dilakukan Sultan Iskandar Muda saat itu bukan hanya untuk mengusir Portugis tapi juga menyatukan Malaka dengan Aceh.

Sehingga dengan tujuan itu, kekuatan besar dibentuk oleh Kesultanan Aceh.

Kekuatan besar itu dibentuk dengan mendatangkan kuda-kuda dari Persia.

Bahkan Sultan Iskandar Muda juga membentuk pasukan gajah serta miliki infanteri.

Untuk alat transportasi, Kesultanan Aceh juga menyiapkan kapal besar yang bisa mengangkut 600 hingga 800 prajurit.

Ada juga beberapa pasukan pengawas yang diposisikan di jalur perdagangan berbagai wilayah kekuasaannya.

Meski sudah menghimpun banyak pasukan, Aceh tetap tidak bisa mengalahkan Portugis atau bersatu dengan Malaka.

Justru pada tahun 1641, Malaka justru direbut oleh VOC, organisasi dagang milik Belanda.

Nah, itu perlawanan dengan berbagai cara yang dilakukan Aceh untuk mengusir Portugis yang ada di Malaka.

Baca Juga: Bukan Hanya Belanda, Ini 5 Bangsa Eropa yang Pernah Menjajah Indonesia

Tahun berapa Portugis mulai menguasai Malak?

Petunjuk: cek di halaman 1!

Lihat juga video ini, yuk!

Ingin tahu lebih banyak tentang pengetahuan seru lainnya, dongeng fantasi, cerita bergambar, cerita misteri, dan cerita lainnya? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo.

Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.

Ikuti juga keseruan rangkaian acara ulang tahun Majalah Bobo yang ke-50 di majalah, website, dan media sosial Majalah Bobo, ya! #50TahunMajalahBobo2023

Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan

Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.

Belajar Empati dengan Berbagi, SPK Jakarta Nanyang School Kunjungi Panti Asuhan Desa Putera

TELAH wafatlah Teungku Putroe Safiatuddin Cahya Nur Alam binti Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Muhammad Daodsyah, pada 21 Ramadhan 1439/6 Juni 2018, pukul 06.45 WITA di RS Kota Mataram, NTB. Cahya Nur Alam dimakamkan di kompleks Baperis, Banda Aceh, Aceh sekitar pukul 22.40 WIB, Rabu (6/6/2018).

Wafatnya Cahya Nur Alam mengingatkan kita kembali pada kakeknya, Sultan Alaidin Muhammad Daodsyah. Berikut kami kutip penuh yang diberitakan okezone.com beberapa waktu lalu.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1884–1939) memiliki andil dalam berdirinya Republik Indonesia. Ia mati-matian mempertahankan wilayah kekuasaannya agar tak jatuh ke tangan Belanda. Namun, jasanya kini nyaris terlupakan.

Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh terakhir yang berdaulat. Ia memimpin Kerajaan Aceh Darussalam saat perang berkecamuk. Sebagian besar usianya habis dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Aceh. Meski tubuhnya ditawan, ia tak pernah mau melepaskan tanah airnya ke penjajah.

Guna mengenang sosok Sultan Muhammad Daud Syah dan jasanya, sejumlah komunitas peduli sejarah Aceh dalam beberapa tahun terakhir rutin menggelar acara haul atau mengenang hari mangkat Sultan di kompleks makam raja-raja Aceh di Banda Aceh.

Pamong budaya Komunitas Peubeudoh Sejarah, Adat, dan Budaya Aceh (Peusaba) Djamal Syarief mengatakan aksi itu dilakukan pihaknya secara sukarela untuk mengajak masyarakat terutama generasi muda mengenal sosok dan perjuangan Sultan.

“Kita berharap Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah diakui sebagai pahlawan nasional karena jasanya sangat besar terhadap Aceh dan berdirinya Indonesia,” ujar Djamal, beberapa waktu lalu.

Salah satu jasa Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah tak menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda, sehingga satu-satunya wilayah Nusantara yang tak pernah takluk ke Belanda saat itu adalah Aceh.

Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag, Belanda, pada 1949, Inggris menanyakan mana kawasan yang diklaim Indonesia yang masih bebas dari penaklukan Belanda? Tersebutlah Aceh.

“Semua peserta konferensi setuju dan mengakui Indonesia menjadi sebuah negara merdeka,” kata Djamal.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan putra Tuanku Cut Zainal Abidin. Ia cucu dari Sultan Alaidin Mansur Syah (1857–1870), raja ke-33 yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam.

Sejarawan Aceh, Ramli A Dally (meninggal dunia pada Selasa 22 Mei 2018), mengatakan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh yang paling berat menghadapi cobaan. Sebab saat kepemimpinannya, Aceh berada dalam kondisi darurat akibat invansi Belanda.

“(Selama) 65 tahun berjuang sejak dalam hutan rimba bergerilya, lima tahun ditawan, 32 tahun dibuang keluar negaranya (Aceh) tanpa pernah menyerahkan sedikit pun negerinya kepada musuh,” kata Ramli, semasa hidupnya.

Ia mengatakan, satu per satu kerajaan di Nusantara takluk ke Belanda selama 200 tahun mereka menguasai Hindia Belanda. Tapi, Kerajaan Aceh tak pernah menyerahkan kedaulatannya sejak Belanda mengeluarkan maklumat perangnya terhadap Aceh pada 1873.

“VOC telah merampas 430 kerajaan kecil-kecil di Nusantara selama 200 tahun,” tutur Ramli, semasa hidupnya.

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri setelah takluknya Kerajaan Samudera Pasai sejak abad 15 Masehi. Pemimpin pertama Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514–1530). Puncak kejayaannya berada pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607–1636).

Wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam mulai dari Sumatera hingga semenanjung Malaysia. Aceh, kala itu, masuk dalam lima besar kerajaan Islam terkuat di dunia, bersama Kesultanan Ottoman Turki, Kesultanan Syafawiyah di Persia, dan Kesultanan Moghul di India.

Kerajaan Aceh Darussalam juga pernah empat kali dipimpin oleh sultanah atau raja perempuan.

Saat Tuanku Muhammad Daud Syah masih bocah, Kerajaan Aceh Darussalam dalam kondisi genting akibat perang. Ia diangkat menjadi sultan ke-35 Aceh pada usia 7 tahun, menggantikan Sultan Alaidin Mahmud Syah yang mangkat karena terkena wabah penyakit kolera, pada 28 Januari 1874.

Saat itu Aceh sedang bergejolak menghadapi invansi Belanda yang sudah berhasil merebut Darul Dunia, Istana Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Banda Aceh. Dikarenakan istana sudah diduduki Belanda, pusat pemerintahan Kerajaan Aceh pindah ke Indrapuri, Aceh Besar.

Tuanku Muhammad Daud Syah kemudian dikukuhkan sebagai Sultan Aceh dalam sebuah upacara kerajaan di Masjid Indrapuri, Aceh Besar, oleh Dewan Mangkubumi Kerajaan yang dipimpin walinya sendiri, Tuanku Hasyim Banta Muda. Usai dilantik, ia menyandang gelar Sultan Alaidin.

Karena usianya belum akil baliq, sultan tak langsung diberi kewenangan memerintah. Dia diwajibkan dididik dulu menguasai ilmu perang dan pemerintahan. Urusan pemerintahan dan negara dikendali Dewan Kesultanan.

Kabinet teras Kerajaan Aceh Darussalam saat itu di antaranya Teungku Chik di Tiro sebagai Menteri Perang (Warizul Harb); Teuku Umar selaku Laksamana (Warizul Bahri); dan Nyak Makam ditunjuk selaku panglima urusan Aceh bagian timur.

Perang masih terjadi di mana-mana. Pasukan Aceh tiada henti menyerang serdadu Belanda. Lewat pertempuran sengit di Montasik, Aceh Besar pada 1878, Belanda akhirnya menguasai benteng Montasik.

Karena lokasinya mulai dekat dengan konsentrasi musuh, dewan kesultanan akhirnya memutuskan agar pusat pemerintahan Kerajaan Aceh dipindah lagi dari Indrapuri ke Keumala, Pidie.

Selama 20 tahun, Keumala menjadi Ibu Kota Kerajaan Aceh. Sultan Alaidin Mahmud Syah yang sudah beranjak muda saat itu, mulai mengatur pemerintahan dan negara di Keumala.

Pasukan kerajaan Aceh terus memberi perlawanan kepada Belanda di berbagai wilayah. Karena tak mampu mengalahkan tentara Aceh, serdadu Belanda akhirnya menculik dua permaisuri sultan dan seorang putra mahkota, Tuanku Raja Ibarahim. Mereka disandera. Strategi itu dilakukan Belanda untuk memaksa Sultan Muhammad Daud Syah menyerah.

Saat ratu dan putra mahkota ditawan, pemimpin pasukan Belanda, Van Der Maaten, kemudian mengirim surat kepada Sultan Muhammad Daud Syah, untuk mengajaknya bermusyawarah di Sigli, Pidie, pada Januari 1903.

Sultan akhirnya menuruti ajakan musyawarah itu. Ia pun datang dengan beberapa pengawalnya. Celakanya, begitu sampai di tempat yang dituju, sultan dan pengawalnya langsung ditahan pasukan Belanda.

Sultan Muhammad Daud Syah dibujuk untuk menandatangani surat penyerahan kekuasaan Aceh kepada Belanda, tapi ia langsung menolaknya.

“Beliau merobek surat tersebut,” tulis Tim Alis Aceh dalam bukunya berjudul “Sejarah Singkat Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat”.

Sultan Muhammad Daud Syah lalu dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh sekarang) dan ditawan di sebuah rumah di kawasan Keudah. Di balik rumah tawanan itu, sultan masih mengatur strategi penyerangan terhadap markas-markas Belanda di Banda Aceh.

Sultan juga mengirim surat kepada Kaisar Jepang, meminta agar membantu pasukannya mengusir Belanda dari Aceh. Surat itu dikirim melalui perwakilan Jepang di Singapura.

Aksi sultan akhirnya tercium pihak Belanda. Van Heutz, pemimpin Belanda saat itu berang dan memutuskan mengasingkan Sultan Muhammad Daud Syah ke Maluku. Alih-alih sebagai tawanan perang, Sultan Muhammad Daud Syah malah disambut warga hangat di Ambon.

Menurut sejarawan Aceh, Abdurrahman Kaoy, saat diasingkan ke Maluku, Sultan Muhammad Daud Syah dianggap sebagai tamu kehormatan oleh Raja Samu-Samu yang berkuasa di sana. “Sultan kemudian mendakwahkan Islam, membawa syiar Islam di sana,” ujarnya.

Karena jatuh cinta dengan Islam dan tersentuh dengan merdunya bacaan Alquran Sultan Muhammad Daud Syah, kata Abdurrahman, maka beberapa keluarga Raja Samu-Samu kemudian bersedia masuk Islam.

“Belanda makin marah, akhirnya Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat diasingkan lagi ke Batavia (Jakarta sekarang),” tutur Abdurrahman Kaoy.

Saat ditawan di Batavia, kata dia, Pemerintah Belanda berulang kali meminta agar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah menyerahkan kekuasaan Aceh secara resmi kepada Belanda. Tapi, Sultan tetap pada pendiriannya; menolak Aceh dikuasai Belanda.

Ia hanya menyerahkan tubuhnya ke Belanda, tapi tidak membiarkan harga diri dan kedaulatan negaranya takluk ke musuh. Sikap itu dipertahankan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah sampai ajal menjemputnya pada 6 Februari 1939. Ia mangkat dalam tawanan Belanda di Batavia dan dimakamkan di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur.

Pusaranya kini kerap tak terurus. Tak ada juga gelar pahlawan nasional untuk Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah.[]Sumber:okezone

Editor: THAYEB LOH ANGEN

Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar merupakan Sultan Aceh pertama yang melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di Semenanjung Melayu. Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar adalah Sultan Aceh ketiga yang memerintah dari tahun 1537—1568 M. Dirinya berkuasa setelah Sultan Ali Mughayat Syah (1514—1528 M) dan Sultan Salahuddin (1528—1537 M). Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar disebut sebagai salah satu penguasa terkuat dalam sejarah Kesultanan Aceh. Pada masanya, kekuasaan yang dimulai oleh ayahnya berhasil diperkuat. Selain itu, Sultan Aceh yang berhasil menjalin hubungan diplomatic dengan Khilafah Turki Utsmani adalah Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar.

Pada masa Sultan Ali Mughayat Syah (Sultan Aceh Pertama), Kesultanan Aceh mulai melakukan perlawanan terhadap Portugis. Sepeninggalnya, tahta jatuh ke anak tertuanya, Sultan Salahuddin, di mana perlawanan Aceh terhadap Portugis mulai berkurang, bahkan hampir kalah. Menyadari situasi tersebut, Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar menggantikan posisi kakaknya dan memproklamirkan diri sebagai Sultan Aceh selanjutnya. Setelah resmi menjabat sebagai Sultan Aceh, Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar langsung mengerahkan armada perangnya untuk melawan Portugis di Malaka.

Hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani

Sultan Alauddin Ri’ayat Syah pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam mengirim surat kepada Turki Utsmani yang dipimpin Sultan Sulaiman al-Qanuni. Di dalam suratnya, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah menyampaikan bahwa Kesultanan Aceh Darussalam tidak memiliki perlindungan atau tempat mengadu selain kepada Kekhalifahan Turki Utsmani. Aceh Darussalam percaya seandainya Khalifah mengetahui mereka sedang berperang atas nama Allah melawan penjajahan, mungkin saja Khalifah akan membantu. Sebab menolong Islam adalah tanggungjawab Khalifah yang baik. Sultan Alauddin Ri’ayat Syah dalam suratnya juga menyampaikan, mengharapkan bantuan tentara, senjata dan ahli-ahli yang memiliki pengalaman perang dari Khilafah Turki Utsmani. Aceh Darussalam juga meminta bantuan agar Khalifah mengirim kuda-kuda terlatih dan para ahli untuk membangun benteng, membuat meriam dan kapal perang.

Namun, bantuan untuk Aceh Darussalam baru bisa dikirim oleh Sultan Selim II anak dari Sultan Sulaiman al-Qanuni. Karena saat surat permohonan bantuan dari Sultan Aceh Darussalam tiba di Khilafah Utsmani, Sultan Sulaiman al-Qanuni sedang berperang bersama pasukannya di Hongaria. Saat di Hongaria, Sultan Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia karena sakit. Pada tahun 1566 M, Sultan Selim II menggantikan kedudukannya. Selanjutnya Sultan Selim II membalas surat Sultan Alauddin Ri’ayat Syah.

Di dalam suratnya, dia menyampaikan Khilafah Utsmani menyiapkan 15 kapal perang kecil dan dua kapal perang besar. Selain itu, Khilafah Utsmani juga menyiapkan peluru meriam, peluru meriam kecil, bubuk mesiu, 300 kapak dan 300 sekop. Di dalam kapal ada kapten kapal, ahli senjata, prajurit, awak kapal, peralatan perang, senjata dan amunisi yang lengkap.

Gaji setahun untuk tentara sudah dibayar dan perbekalan gandum untuk setahun diangkut keatas kapal agar tidak kekurangan makanan selama perjalanan. Pimpinan utusan dari Turki Utsmani ini diserahkan ke Kurdoglu Hizir yang telah ditunjuk sebagai kapten dan Seraskier panglima perang pasukan militer yang dikirim ke Aceh Darussalam pada tahun 1568-1569 M. Bantuan tersebut menjadi bukti bahwa Kesultanan Aceh dan Khilafah Turki Utsmani memiliki sebuah hubungan yang begitu erat. Bukti lain yang menguatkan hubungan antara Kesultanan Aceh dan Khilafah di Turki adalah ditemukannya ratusan koin emas di Desa Gampong Pande, Aceh. Koin-koin tersebut bertuliskan nama Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar berdampingan dengan Sultan Sulaiman I (KhalifahTurki Utsmani).

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

Bobo.id - Selama mengalami penjajahan, tentu ada banyak perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Salah satu perlawanan terjadi di Aceh yang saat itu sedang dijajah Portugis.

Negara asing yang pernah menjajah Indonesia bukan hanya Belanda tapi ada juga beberapa negara Eropa lain seperti Spanyol dan Portugis.

Kali ini, kita akan belajar dengan mengenal sejarah penjajahan Portugis di tanah Aceh dan Malaka.

Portugis sudah masuk ke wilayah Malaka pada tahun 1511 di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque.

Ditaklukannya Malaka tentu berdampak besar pada perdagangan internasional.

Pada masa itu Malaka, Aceh, dan Johor adalah wilayah yang memiliki peran besar pada perdangan rempah internasional.

Karena itu, dengan masuknya Portugis mengambil alih kekuasaan membuat sistem perdagangan rempah berubah.

Berikut akan dijelaskan latar belakang dan cara yang dilakukan Kesultanan Aceh dalam melawan Portugis.

Latar Belakang Melawan Portugis

Sejak kedatangan Portugis, masyarakat Aceh di bawah Kesultanan Aceh sudah menunjukan sikap tidak bersahabat pada bangsa Eropa itu.

Bahkan sejak awal, Aceh sudah melakukan tindakan militer pada Portugis.

Baca Juga: 2 Alasan Kesultanan Demak Lakukan Serangan pada Portugis, Materi Sejarah

Menurut Pemimpin Aceh saat itu, yaitu Sultan Ali Mughayat Syah, Adanya Portugis di Malaka merupakan saingan.

Kesultanan Aceh menganggap Portugis mengganggu dalam bidang politik, ekonomi, dan penyebaran agama.

Tapi ternyata anggapan itu bukan hanya ada pada Kesultanan Aceh, lo.

Pada saat itu Portugis juga menganggap Aceh sebagai sumber kekayaan yang sekaligus ancaman.

Karena itu, Portugis menyiapkan banyak rencana untuk bisa menyerang Aceh dan menguasainya.

Bahkan pada tahun 1523 dan 1524, Portugis mengirim pasukannya untuk menyerang Aceh, namun berakhir gagal.

Jadi ada beberapa alasan dari perlawanan yang dilakukan Aceh pada Portugis.

Aceh merasa terganggu dengan dikuasainya Malaka oleh Portugis yang membuat kacau perdagangan rempah.

Selain itu, Portugis juga selalu mencoba menyerang Aceh untuk bisa menguasai wilayah tersebut.

Berbagai penyebab itu yang kemudian membuat Kesultanan Aceh melakukan perlawanan besar-besaran pada Portugis yang ada di Malaka.

Bekerja Sama dengan Turki Ottoman

Cara pertama yang dilakukan Kesultanan Aceh adalah dengan menjalin kerja sama dengan negara lain.

Pada saat itu, Kesultanan Aceh sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Turki Ottoman.

Karena itu, Aceh mengirim utusan ke Istambul untuk meminta bantuan militer guna melawan Portugis.

Kesultanan Aceh pun juga mengirim komoditas dagang seperti lada untuk Sultan Turki.

Dari kerja sama yang bentuk, Turki mengirimkan instruktur, prajurit, dan senjata pada Aceh untuk melawan Portugis.

Sehingga Aceh bisa membawa sekitar 3.000 tentara yang dipimpin Sultan Alauddin ke Malaka untuk menyerang Portugis.

Namun serangan itu mengalami kegagalan. Meski begitu, Aceh tidak menyerang dan kembali mengirim serangan berturut-turut dari tahun 1547, 1568, 1573, 1574, dan 1577.

Tapi sayangnya, dari berbagai serangan secara berturut-turut itu tetap mengalami kegagalan.

Cara Melawan Portugis

Ada beberapa cara yang dilakukan Kesultanan Aceh untuk melancarkan serangan pada Portugis.

Baca Juga: Sama-Sama Bentuk Kerja Paksa, Apa Perbedaan Kerja Rodi dan Romusha?

Berikut akan dijelaskan dua cara yang dilakukan oleh Aceh untuk menyerang Portugis.